DBAsia News

Belajar dari Kultur Ultras Eropa

persib vs persija

DBasia.news – Ketika untuk urusan taktik sepak bola tanah air masih mencontoh sepak bola luar negeri, apakah untuk urusan suporter juga berlaku hal yang sama?

Sepak bola tanah air dirundung awan hitam setelah Haringga Sirila meninggal dunia saat ingin menyaksikan tim kebanggaanya, Persija, berduel dengan Persib di Gelora Bandung Lautan Api. Pria 23 tahun tersebut dikeroyok secara membabi buta hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Miris, duel panas yang seharusnya hanya terjadi di dalam lapangan, meluas hingga ke luar. Jika penyebabnya adalah fanatisme, Anda perlu lebih banyak belajar dari kultur Ultras di Eropa.

Menurut berbagai sumber, kelompok Torcida Split, pendukung Hadjuk Split, adalah ultras terorganisasi pertama. Meskipun, banyak juga yang menyebut Italia sebagai rumah dari paham tersebut pada awal tahun 1950-an.

Secara garis besar, ultras adalah sekumpulan suporter yang memiliki tujuan untuk mengintimidasi lawan sekaligus memberikan dukungan kepada tim. Berbagai hal bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Ultras Paris Saint-Germain pernah mendatangi hotel tempat pemain Real Madrid menginap hanya untuk membuat para penggawa El Real tak bisa tidur. Mereka bernyanyi sepanjang malam dan menyalakan flare.

Cara lain yang sering dilakukan adalah dengan membuat koreografi. Contohnya, pada derby Della Madonnina yang mempertemukan Inter Milan kontra AC Milan kedua kubu suporter menampilkan koreografi yang melibatkan sebagian besar isi stadion. Tujuannya lagi-lagi memberikan teror dan dukungan.

Namun, tak lengkap rasanya bila tak menyebutkan nyanyian. Ya, ultras akan bernyanyi sepanjang laga. Mereka seolah-olah ikut bertanding dengan terus meneriakan nyanyian yang membakar semangat.

Mungkin, bagi Anda yang pernah melihat langsung bagaimana ultras beraksi, mereka seperti Mozart dan Beethoven yang tengah bermain dalam sebuah orkestra. Memang terkesan berlebihan, namun gegap gempita dan semangat yang ditimbulkan masih berada dalam benang merah yang sama.

Seperti layaknya orkestra, ultras pun tak asal bernyanyi. Mereka menuruti perintah pemimpin, atau yang beken disebut sebagai “Capo”. Mereka berkumpul di satu sisi tribun, sambil mengikuti arahan capo yang berdiri pada barisan paling depan. Mirip peran yang dilakukan konduktor dalam sebuah pertunjukan orkestra bukan?

Beberapa alat musik juga kerap hadir di tribun. Drum dan trompet dua di antaranya. Dengan tabuhan drum, syair lagu yang dilantunkan kian terasa bersemangat. Adapun, trompet menghadirkan unsur simfoni ke dalam stadion.

Capo juga berperan untuk memimpin gerakan yang dilakukan ketika bernyanyi. Contohnya, tepuk tangan atau melompat sambil membelakangi stadion yang lazim disebut The Poznan.

Dalam menyanyikan sebuah lagu, ultras biasanya punya beberapa cara. Pertama dan paling sering dilakukan adalah mengikuti apa yang dinyanyikan capo. Pada cara tersebut, Capo terlebih dahulu menyanyikan sepenggal lirik lagu, kemudian para ultras mengikuti. Atau, cara lainnya adalah dengan saling berbalasan.

Biasanya, para ultras akan membagi diri menjadi dua bagian dan saling bersaut-sautan dalam bernyanyi. Dalam dunia musik, hal itu dikenal sebagai cresendo. Sekali lagi, cara-cara tersebut kembali mengaitkan ultras dengan orkestra.

Satu hal yang penting untuk dicontoh adalah soal koordinasi. Pada kultur ultras ada paham hierarki yang berjalan. Seluruh anggota dilarang membantah perintah dari pemimpin. Jika sudah seperti itu, tidak akan ada lagi anggota yang bertindak sesuka hati yang pada akhirnya merugikan diri sendiri atau tim.

 

Memang benar, ultras juga punya beberapa budaya yang tidak layak untuk dicontoh. Misalnya open fight atau pertarungan dengan suporter lain. Open fight biasanya dilakukan antar dua kelompok suporter dengan jumlah yang sama dan tanpa menggunakan senjata apa pun.

Perkelahian tersebut mirip dengan olahraga bela diri mixed martial art. Itu artinya, lawan dinyatakan kalah bila sudah terjatuh dan tak mampu melakukan pertarungan. Penting untuk diingat, open fight masih punya batasan yaitu jangan sampai menghilangkan nyawa.

Dengan narasi tentang ultras yang ada di atas, kita harusnya sadar bahwa mendukung tim kesayangan bisa dilakukan dengan banyak cara tanpa merugikan siapa pun. Sebab, tidak ada kemenangan yang sepadan dengan nyawa.

 

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?