DBasia.news – Tepat sebelum pertandingan di laga Ligue 1 antara Paris Saint-Germain melawan Bordeaux di Parc des Princes musim lalu, sesuatu yang mengagetkan terjadi.
Nama Lionel Messi disoraki dan dicerca saat susunan pemain dibacakan oleh announcer stadion.
Lionel Messi, pemain terbaik yang pernah ada, sang GOAT. Iya, Lionel Messi yang itu, dicerca fans-nya sendiri.
Fans PSG tak cuma mengecam Messi. Neymar juga jadi korban sorakan dan siulan, bahkan setelah mencetak gol kedua dalam kemenangan 3-0.
Buat suporter yang tak puas, bintang Brasil itu adalah simbol kehancuran PSG; poster boy-nya bos-bos di Qatar.
Waktu itu klub ibukota Prancis tersebut memang bergerak mulus menuju gelar Ligue 1, tetapi lagi-lagi mereka menjadi badut Eropa setelah disingkirkan dari Liga Champions oleh Real Madrid, setelah lagi-lagi morat-marit secara mengejutkan, yang tak sepantasnya dialami oleh skuad semahal itu.
Menambahkan sosok Messi ke lini serang yang sudah diperkuat Neymar dan Kylian Mbappe harusnya berbuah trofi Liga Champions pertama; alih-alih, PSG sekali lagi menjadi Tottenham Hotspur-nya Eropa, yang selalu gagal memenuhi ekspektasi.
Para penggemar memang tidak merasa Messi sebagai akar permasalahan PSG, tapi mereka menganggapnya sebagai bagian dari masalah.
Jelas bahwa Messi tidak dalam puncak performanya kontra Madrid. Tak ada gocekan-gocekan menawan atau pun umpan-umpan manja. Namun, yang membuat suporter PSG kesal adalah pergerakannya, yang seolah tak ada.
Eks gelandang PSG Jerome Rothen ngamuk-ngamuk di RMC: “Dia jalan-jalan di lapangan, dikantungi Luka Modric!”
“Saya takut melabeli Messi sebagai seorang pemain gadungan, tapi nyatanya begitu.”
Kata-kata Rothen memang terdengar sebagia sebuah penistaan, tetapi peraih tujuh Ballon d’Or itu memang nyungsep senyungsep-nyungsepnya musim lalu.
Ia cuma bisa mencetak satu gol Ligue 1 sebelum tahun baru, dan saat musim selesai cuma bisa bikin enam. Terakhir kali Messi mencetak gol sesedikit itu adalah pada musim 2005/06, di mana Messi masih merupakan bocah 18 tahun yang baru saja masuk tim utama Barcelona.
Messi terlihat habis, finished. Namun kenyataannya, dia cuma capek. Capek fisik dan emosional.
Pertama-tama, musim panas 2021 menguras habis jiwa Messi. Habis kejayaan di Copa America bareng Argentina, terbitlah kesengsaraan harus meninggalkan Barcelona. Keduanya sama-sama memicu air mata, tetapi untuk dua alasan yang sangat berbeda.
Kejayaan internasional adalah sebuah kelegaan, hilangnya beban yang telah dipikul Messi menahun. Ada kebahagiaan saat dia kolaps di rerumputan Maracana pada malam hari 10 Juli 2021, tetapi yang jelas: lega.
Serasa happy ending. Kepergiannya dari Barcelona membuyarkan semua itu.
Saat itu, ketika air matanya mulai berlinang, Messi terlihat hancur, syok, tak percaya.
Seperti yang dikatakan Luis Suarez soal sahabat karib dan mantan rekan satu timnya itu, “Leo sangat menderita. Belum pernah saya melihat Messi menangis seperti saya melihatnya menangis [di jumpa pers terakhirnya] di Barcelona. Ia terluka.”
Terlebih, dengan bagaimana segalanya terjadi begitu cepat, Messi jadi linglung.
Transfernya ke Paris Saint-Germain diresmikan hanya dua hari setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Camp Nou, nyaris tak ada waktu untuk meresapi perpisahannya dengan Barcelona, yang telah menjadi rumahnya selama dua dekade, sebelum mencoba memulai kehidupan baru di kota yang baru, negara baru.
Maka tak mengherankan sama sekali saat Messi butuh waktu untuk beradaptasi di Paris.
Hunting rumah mungkin menyenangkan buat bilyuner seperti dia, tetapi ternyata makan waktu lebih lama dari yang ia dan pasangannya, Antonella Roccuzzo, duga.
Buntutnya, keluarga Messi harus tinggal di hotel selama enam pekan, dan itu sama sekali tak menyenangkan – tak peduli semewah apa fasilitasnya.
“Anak-anak sudah enggak tahan,” aku Messi kepada Le Figaro.
Debut Messi juga tertunda. Sesuai dugaan, ia masih belum istirahat penuh dari perjuangan bersama Argentina, sehingga harus absen di dua laga pertama PSG musim itu.
Dia masih mengejar ketertinggalan saat mengalami cedera ringan di kaki. Lalu, jeda internasional datang. Di akhir Oktober, Messi masih belum bisa konsisten.
Memang sesekali ada percikan-percikan kejeniusannya di lingkungan familier yakni Liga Champions, terutama saat menghadapi Manchester City, tetapi beradaptasi dengan Ligue 1 ternyata jadi sumber masalah.
“Di Spanyol, semua tim mencoba bermain lebih banyak dan mereka menjaga bola dari Anda jika Anda tak mem-pressing dengan baik,” jelas Messi kepada Sport.
“Ligue 1 adalah liga yang lebih main fisik, di mana pertandingan lebih sengit, di mana ada banyak jual-beli dominasi. Pemain-pemainnya cepat dan kuat. Secara fisik, banyak perubahan.”
Dan terlihat bahwa Messi dihambat oleh cedera yang bertubi kendati ringan. Jelas ada kaitannya dengan fakta bahwa dia tak melakukan persiapan pramusim.
Ada peningkatan dalam permainannya di paruh kedua musim kemarin tetapi musim PSG yang penuh gejolak berakhir dengan kepahitan. Mereka boleh saja menggenggam gelar Ligue 1, tetapi PSG kehilangan dukungan dari para suporternya.
Jelas bahwa harus ada perubahan besar-besaran dan Messi adalah salah satu yang diuntungkan darinya.
Keputusan mendepak Leonardo dari posisi direktur olahraga sudah sejak lama menjadi tuntutan fans, yang merasa bahwa pria Brasil itu tak cuma bertanggung jawab atas perbagai pembelian buruk, tetapi juga atas budaya sok ngartis, sok diva, di PSG.
Mauricio Pochettino mungkin bisa dibilang dirugikan dengan kebijakan transfer Leonardo, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa pelatih asal Argentina itu tak bisa memaksimalkan skuad yang ia punya, sehingga pemecatannya juga tak terhindarkan.
Menunjuk Christophe Galtier sejauh ini terlihat sebagai keputusan yang arif, dengan PSG masih tak terkalahan di semua kompetisi.
Terlebih, mantan pelatih Nice itu sudah menjalin hubungan yang baik dengan Messi. Keduanya mengobrol rutin tiap hari soal kebugaran La Pulga, posisinya, dan rencana pertandingan untuk calon-calon lawan.
Messi bikin Galtier dan staf pelatihnya terkejut dengan pemahaman taktiknya, tetapi mereka bisa dibilang lebih kaget melihat pendekatan superstar veteran itu terhadap musim ini.
Ada rasa takut yang timbul di bursa transfer, bahwa kepergian dua kawan karib Messi, Angel Di Maria dan Leandro Paredes, bakal membuat pemain yang memang terkenal introvert itu semakin menutup diri.
Namun, Messi kembali ke PSG dengan mindset yang sepenuhnya berbeda. Dia bertekad untuk meninggalkan impak di lapangan.
“Fisik saya terasa baik karena saya bisa melakukan pramusim yang sangat bagus tahun ini,” ungkap Messi kepada Star+.
“Itu penting untuk memulai musim ini dengan berbeda. Tapi saya juga tiba dengan mentalitas yang berbeda dan sangat antusias.