DBasia.news – Di dunia ini, ada pelatih yang mengedepankan permainan cantik terlepas apa pun hasilnya, tapi ada pula yang mementingkan hasil tanpa melihat proses permainannya itu sendiri.
Nah, Massimiliano Allegri sekarang ini bukan keduanya, bahkan salah satu pun tidak. Di bawah asuhannya, Juventus bermain negatif, sama sekali tidak menghibur.
Alih-alih membuahkan hasil positif, justru yang ada malah rangkaian kekecewaan terutama dalam beberapa pekan terakhir hingga membuat Juventini, para pendukung Juve, frustrasi.
Awalnya mungkin bisa dipahami mengapa manajemen Juventus menunjuk kembali Allegri. Bermodalkan rekor apik selama periode pertamanya melatih antara 2014 dan 2019 yang menghasilkan lima Scudetto Serie A dan dua kali menjadi finalis Liga Champions.
Hanya saja, makin ke sini nuansa CLBK – cinta lama bersemi kembali – Juventus dengan sang allenatore terkesan hanya sebuah delusi.
Tanda-tandanya sudah terlihat musim lalu, saat Allegri memulai debut keduanya di Turin. Juve gagal memenangkan salah satu dari empat pertandingan liga pertama mereka untuk pertama kalinya dalam 61 tahun untuk memulai dengan awal kampanye yang meresahkan.
Meski pun ada tanda-tanda perbaikan, yang tidak terlalu signifikan, Juve tidak pernah benar-benar menunjukkan potensi terbaik mereka. Malah tersingkir secara memalukan di babak 16 besar Liga Champions untuk musim ketiga berturut-turut menambah kesengsaraan mereka.
Juventus pada akhir musim 2021/22 kembali gagal memenuhi ekspektasi Scudetto mereka. Lebih parah lagi, jika semusim sebelumnya pelatih debutan, Andrea Pirlo dianggap gagal karena melewatkan titel Serie A meski mempersembahkan Coppa Italia, Allegri malah kandas di semua kompetisi, menutup kampanye dengan nirgelar untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir klub.
Musim ini, harapan bangkit di bawah Allegri sebenarnya masih ada. Sang pelatih mendapat waktu lebih untuk membangun kembali timnya, mendatangkan para pemain yang diinginkan untuk skemanya.
Tapi hasilnya tetap sama, Juve kembali tertatih-tatih mengawali musim 2022/23. Dua kemenangan dalam 11 laga di semua kompetisi, tercecer di posisi kedelapan Serie A, bahkan lebih parahnya, permainan Juve tidak mencerminkan mereka sebagai klub besar.
Juve era Allegri cenderung bermain aman, bukannya bertujuan meraih kemenangan namun menghindari kekalahan. Jika itu dilakukan saat menghadapi klub-klub yang di atas kertas lebih kuat, bisa dimaklumi, namun pola permainan ‘pengecut’ itu malah lebih sering ditampilkan saat lawan tim-tim kecil.
Contoh terbaru adalah ketika harus susah payah mengejar ketertinggalan untuk meraih hasil imbang 2-2 lawan Salernitana di kandang sendiri, Senin (12/9). Terlepas dari kontroversi VAR yang ada, sungguh tidak sepantasnya Juve berada di situasi itu, dengan nama dan reputasi besar mereka.
Jurnalis ternama Italia, Carlo Garganese sampai geram menonton permainan Juve era Allegri, bahkan tak segan untuk menjulukinya sebagai “pelatih dinosaurus” karena pola usangnya yang sama sekali tidak efektif dan tidak membuahkan hasil.
Betapa kacaunya filosofi kepelatihannya, tidak ada pertahanan yang kokoh, penguasaan bola yang amburadul, pemilihan formasi yang cenderung monoton, tidak berani mengambil keputusan ekstrem. Pola pikir seperti ini membuat talenta-talenta muda yang dimiliki Juve seperti Dusan Vlahovic dan Federico Chiesa sulit memenuhi potensi terbaik mereka.
Seruan berupa tagar #AllegriOut sudah menggema sejak beberapa pekan terakhir, menggambarkan betapa frustrasinya sebagian besar pendukung Juventus yang menginginkan agar sang pelatih segera dipecat.
Memang, mengganti pelatih bukan jaminan adanya perbaikan, namun setidaknya dibutuhkan penyegaran karena Juventus sudah terlalu lama terjebak dalam nuansa romantisme semu dengan Allegri.
Masalahnya, keinginan suporter sepertinya tidak sejalan dengan manajemen Juventus. Jika berkaca pada apa yang dilakukan Chelsea, memecat Thomas Tuchel di awal musim ini hanya karena beberapa hasil negatif, kendati sang pelatih sukses mempersembahkan trofi Liga Champions, hal semacam itu tampak sulit terwujud di Turin.
Faktor finansial klub menjadi pembeda. Juventus, meski punya status sebagai salah satu klub terkaya di Italia dan Eropa, tidak punya tradisi untuk gemar mengganti pelatih. Mereka masih terlalu menguntungkan untung dan rugi ketimbang hasil di lapangan.
Memecat Allegri pada titik ini akan sangat merugikan mereka. Dengan gaji sebesar €9 juta per musim, maka mendepak pelatih berusia 55 tahun itu akan membutuhkan dana kompensasi yang sangat besar.
Keinginan Juventini agar klub mendatangkan pelatih yang sudah bermental juara terutama di kancah Eropa, yang pernah menjuarai Liga Champions – trofi yang sangat mereka dambakan – bakal sulit terwujud.
Bukan cuma karena faktor finansial seperti yang diuraikan di atas, tapi juga karena tradisi Juventus di bawah kepemimpinan presiden Andrea Agnelli yang cenderung hanya mau merekrut pelatih berkebangsaan Italia. Karena sejak terakhir dibesut Didier Deschamps asal Prancis pada musim 2006/07, Juve sejak itu belum pernah lagi ditangani oleh pelatih non-Italia.
Katakanlah skenario Allegri dipecat, maka tidak ada jaminan bahwa manajemen Juve akan bergerak untuk mendekati para pelatih top yang tengah menganggur seperti Tuchel mau pun bekas juru taktik Real Madrid, Zinedine Zidane.
Jadi, jika mau berjudi mendatangkan pelatih Italia lainnya, maka kriterianya adalah yang memiliki ide segar dan bermental menyerang sebut saja misalnya Domenico Tedesco yang baru berpisah dengan RB Leipzig atau Roberto De Zerbi bekas nahkoda Shakhtar Donetsk.
Yang pasti, Juve butuh penyegaran dari sisi pelatih karena taktik yang digunakan oleh Allegri saat ini sudah terlalu usang dan ibarat ‘dinosaurus’ yang tidak cocok dengan perkembangan zaman modern.