Diego Maradona, Pemain Cerdik dan Memiliki Mental Kuat

MEXICO CITY, MEXICO - JUNE 29: Diego Maradona of Argentina holds the World Cup trophy after defeating West Germany 3-2 during the 1986 FIFA World Cup Final match at the Azteca Stadium on June 29, 1986 in Mexico City, Mexico. (Photo by Archivo El Grafico/Getty Images)

DBasia.news – Siapa yang tidak ingat gol kedua Diego Maradona ke gawang Inggris pada Piala Dunia 1986. Gol yang bermula dari gerakan memutar mengecoh tiga pemain Inggris, diteruskan dengan sentuhan anggun untuk memulai menggiring bola tanpa bisa diadang.

Teknik dan improvisasi itu hanya bisa dipelajari dari ruang-ruang sempit di jalananan dan arena main sepak bola kampung. Cara bermain yang biasa menghindari tempelan ketat pemain lain ketika berlaga dalam arena-arena tanpa wasit. Kelihaian semacam ini hanya bisa muncul dari orang yang tahu pasti bahwa dia bisa memperagakan keterampilannya.

Aksi individual spektakuler dan spontanitas seperti ini banyak kalangan khawatir hilang dari para pemain muda saat ini. Para pemain lebih memilih belajar bagaimana bermanuver di barisan belakang lawan dan cenderung memperhatikan hal-hal taktis.

“Akademi-akademi dipenuhi oleh para pelatih, sepak bola yang terlalu terorganisir, tertata, segalanya ketat dan sentuhan satu dua. Biarkanlah mereka menggiring bola,” kata mantan pemain sayap Inggris Chris Waddle dikutip Reuters.

Wadlle menilai pemain-pemain sepak bola saat ini tak berani menahan bola sendirian sambil merangsek maju, sebaliknya menjalankan taktik oper dari kaki ke kaki yang sering kembali mengarah ke belakang. “Mereka terlalu kebanyakan berlatih dan takut kehilangan bola.”

Berbeda dengan Maradona. Dia tidak pernah takut kehilangan bola atau takut cedera. Entah berapa kali sang legenda harus meladeni pengawalan keras bahkan kasar. Tapi dia tidak mengubah cara bermainnya.

Di Argentina, Spanyol, dan Italia, pemain bertahan menempuh segala cara, dengan sah atau tidak, untuk menghentikan dia yang membuat mereka malah terlihat sama malangnya dengan apa yang dilakukan Peter Reid dari Inggris di Stadion Azteca di Meksiko kala itu, dilewati tanpa bisa berbuat apa-apa.

Maradona memiliki kepercayaan diri, tekad, dan arogansi untuk terus membuat pemain Inggris terlihat bodoh.

“Anda bisa tahu dia berasal dari sepak bola jalanan,” kata Rafa Paz, mantan rekan setim Maradona di Sevilla.

Maradona jelas bukan pemain terakhir yang bermain pada level tertinggi dengan modal keterampilan sepak bola informal.

Pemain yang mengantarkan Prancis juara Piala Dunia, Zinedine Zidane, juga tumbuh di distrik keras La Castellane di Marseille. Penampilan Maradona pada Piala Dunia 1986 menginspirasi gelandang yang kemudian bermain di Juventus dan Real Madrid itu.

“Saat itu saya berusia 14 tahun, dan ketika di usia itu Anda mempedulikan segalanya. Pada saat itulah saya menyadari pemain seperti apa dia, menciptakan perbedaan seperti yang dia lakukan. Dia sendirian memenangkan pertandingan,” kata Zidane.

“Itu hal ekstra yang dia miliki dibandingkan pemain lain. Pada 1986, dia sudah berada di level lain.”

Maradona mengatakan, dia dipengaruhi oleh pemain-pemain jalanan sebelumnya seperti legenda Manchester United George Best, yang tahu taktik tidak berarti apa-apa jika bisa melakukan semuanya sendirian.

“George menginspirasi saya sewaktu saya masih muda,” kata Maradona ketika legenda Irlandia Utara itu wafat.

“Dia flamboyan dan menarik serta mampu mengilhami tim. Saya sebenarnya beranggapan kami berdua dua pemain yang sangat mirip, penggiring bola yang mampu menciptakan momen-momen ajaib.”

Di era saat ini tentu saja Lionel Messi adalah bukti bahwa sistem akademi tidak serta merta menghilangkan keajaiban itu. Messi meninggalkan tanah airnya dalam usia 12 tahun untuk bergabung dengan akademi La Masia Barcelona dan akan sulit mengatakan keterampilan menggiring bolanya terkikis oleh akademi itu.

Juara dunia Prancis, diberkati dengan talenta yang muncul dari “Banlieues” (pinggiran kota Paris) atau tempat-tempat seperti Bondy, di luar ibu kota tempat Kylian Mbappe mengasah keterampilan menggiring bolanya.

Dari Ferenc Puskas menendang bola terbuat dari kain di reruntuhan Budapest pasca-Perang Dunia Kedua, Eusebio dari Benfica yang bermain tanpa alas kaki di Mozambik, hingga Wayne Rooney yang bermain di area bermain aspal kecil di Croxteth, Liverpool, fasilitas-fasilitas paling dasar telah menghasilkan sejumlah bakat sepak bola yang paling menarik.

Pemain sayap Inggris dan Borussia Dortmund Jadon Sancho adalah salah satu dari sejumlah pemain yang muncul dari London selatan.

“Semua orang mengekspresikan dirinya sendiri dan begitulah cara orang mempelajari keterampilannya. Sepak bola jalanan membuat Anda tidak takut kepada siapa pun,” kata Sancho.

Mungkin karena tidak adanya rasa takut ini, kesediaan mengambil risiko telah menghubungkan semua pemain jenis ini yang membuat mereka menjadi para pemain siap pakai.

“Saya Maradona, yang menciptakan gol, yang membuat kesalahan. Saya bisa melakukan semuanya, saya punya bahu cukup besar untuk bertarung dengan siapa pun,” kata Maradona suatu kali.

“Kalian bisa mengatakan banyak hal soal saya, tapi kalian tidak pernah bisa mengatakan saya tidak mengambil risiko.”

Sepak bola jalanan tidak hanya menawarkan ketrampilan, tapi juga nyali.