DBasia.news – Hubungan di antara Chelsea dan Antonio Conte berakhir di persidangan, lalu pada akhirnya The Blues harus membayar £26,6 juta (sekitar Rp500 miliar), dan membuat kasus ini menjadi kasus perceraian termahal sepanjang sejarah sepakbola.
Kala Chelsea memecat manajer asal Italia itu pada 2018, mereka berpendapat ia tidak berhak mendapatkan pesangon karena dianggap melakukan pelanggaran kontrak saat tahun kedua dan terakhir masa jabatannya di Stamford Bridge.
Namun hakim mengetok palu kemenangan Conte, dan ia membangi pesangon yang ia terima kepada 11 staf kepelatihannya.
Sangat disayangkan kisah Conte di London barat harus berakhir dengan pertikaian. Mengingat kisahnya dimulai dengan begitu indah, rasanya juga mengejutkan.
Bagaimana tidak, di tahun pertamanya, Conte menyulap tim yang sebelumnya finis ke-10 menjadi kampiun Liga Primer Inggris.
Peralihan ke formasi 3-4-3, yang sebelumnya tak jamak ditemui di Inggris, menjadi awal rentetan kemenangan 13 pertandingan, dan tim asuhannya kala itu melenggang menuju trofi liga Inggris.
The Blues juga nyaris meraih double domestik pada 2017, tetapi harus tumbang di final Piala FA di tangan Arsenal.
Namun mereka kembali menyambangi Wembley tahun depannya, dan mengangkat trofi tersebut setelah mengalahkan Manchester United 1-0.
Dua trofi besar dalam dua musim biasanya menjadi jaminan musim ketiga bagi seorang manajer, tetapi masa jabatan Conte sudah terlanjur remuk redam sebelum akhir musim 2017/18.
Tanda-tanda ketegangan pertama di Stamford Bridge muncul pada bursa transfer Januari 2017, ketika Diego Costa mendesak untuk dijual ke klub Liga Super Tiongkok, Tianjin Quanjian, dengan biaya £25 juta.
The Blues harus memaksa striker Spanyol kelahiran Brasil itu untuk menetap, dan ia memainkan peran kunci pada kejayaan mereka di Liga Primer.
Namun, Conte lalu memberi tahu Costa ia tak akan masuk rencananya lagi via pesan teks ketika sang striker sedang liburan.
Costa mengamuk dan melakoni beberapa wawancara dan mengklaim ia “diperlakukan seperti seekor anjing”.
Dari dalam klub, banyak yang menyalahkan Conte karena menangani situasi ini dengan tidak sensitif dan meyakini bahwa seharusnya ia membiarkan Marina Granovskaia, direktur Chelsea, yang mengurusi kepergian Costa.
Terlepas dari itu semua, setelah menjadi juara Inggris, dan lolos ke Liga Champions Eropa, Chelsea berencana memoles skuad mereka karena Conte menganggapnya tidak cukup kuat untuk bersaing meraih trofi domestik dan kontinental secara bersamaan.
The Blues memang mendatangkan beberapa pemain, tetapi bukan serdadu incaran Conte.
Setelah kecewa melihat incaran utamanya, Virgil van Dijk, memecahkan rekor transfer bek (£75 juta) saat itu untuk ke Liverpool, Conte semakin dibikin frustrasi karena Chelsea gagal mencaplok Leonardo Bonucci, yang meninggalkan Juventus demi AC Milan pada musim panas 2017.
Conte juga menginginkan Alex Oxlade-Chamberlain, Romelu Lukaku, dan Kyle Walker, sementara Milan menolak tawaran Chelsea untuk Alessio Romagnoli. Mereka bahkan juga memepet bomber Bayern Munich Robert Lewandowski ketika eks-manajer Juve itu masih di London barat
Alih-alih, pada musim 2017/18, Chelsea malah membeli Alvaro Morata, Tiemoue Bakayoko, Danny Drinkwater, dan Davide Zappacosta. Sebuah periode jendela transfer yang dianggap paling remuk sepanjang sejarah mereka.
Hasilnya? Bisa ditebak. Chelsea langsung keteteran mengejar Manchester City di perebutan gelar juara dan, pada bulan November, direktur teknis Michael Emenalo yang punya peran penting meninggalkan The Blues atas kesepakatan bersama. Ini pukulan signifikan, karena tak ada lagi mediator antara Conte dengan Granovskaia.
Namun pihak klub tak bisa sepenuhnya disalahkan. Chelsea memang sering sembrono soal transfer, tetapi mereka punya standar sendiri yang kebetulan tidak sesuai dengan kemauan Conte.
Apa yang terjadi setelah itu rasanya tak terhindarkan. Jumpa pers Conte dipenuhi dengan kesengitan, ia terang-terangan, di depan publik, mengaku tidak bahagia dengan strategi transfer Chelsea.
Hingga saat ini, The Blues bahkan masih dipaksa membayar keteledoran mereka di musim 2017/18. Olivier Giroud, Emerson Palmieri, dan Ross Barkley yang didatangkan pada Januari, membuat pengeluaran total mereka musim itu menjadi £234 juta.
Chelsea memang berhasil memenangi Piala FA, tetapi Conte hanya bisa finis kelima di Liga Primer, dan gagal lolos ke Liga Champions.
Pada musim panas, Chelsea tak bisa menyembunyikan niat mereka untuk mendatangkan Maurizio Sarri sebagai manajer baru. Tetapi Napoli memaksa mereka untuk turut membeli Jorginho dengan harga £57 juta, dan Partenopei sukses besar.
Meski demikian, Conte dipaksa menangani tiga sesi latihan pertama musim 2018/19 sembari menunggu nasibnya.
Setelah menelaah semuanya, rasanya ini bukan kasus hitam putih di mana salah satu dari mereka bisa dicap villain sementara satunya dicap hero.
Ini hanyalah salah satu episode paling dramatis dalam dunia Chelsea yang memang terkenal gonjang-ganjing. Bayangkan saja, mereka sudah menggelontorkan sekitar £100 juta hanya untuk memecat manajer sejak Roman Abramovich membeli The Blues pada 2003 lalu.
Conte selalu enggan mengungkap kisah sebenarnya di balik masa jabatannya di Chelsea dengan selalu memberikan jawaban diplomatis nan aman.
“Saya menghabiskan dua musim di mana saya menjalin hubungan baik dengan pemain, staf, dan orang-orang yang bekerja di Chelsea,” ujar pria yang kini melatih Tottenham itu menjelang pertemuan pertama dari tiga pertandingan The Blues versus Spurs pada Januari 2022.
“Kami melakukan pekerjaan yang amat bagus dan menurut saya, dari posisi saya, saya tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun.”
“Saya manajer yang punya pengalaman untuk melakukan tugas penting di klub lain, dan saya bakal senang bisa kembali ke Stamford Bridge.”
Anehnya (atau mungkin wajar saja), begitu banyak fans Chelsea yang masih mengidolakan Conte.
Ketika Chelsea menang 3-0 secara agregat atas Tottenham di semi-final Piala Liga Inggris, setelah membuat Spurs tunduk di kandang sendiri dengan skor 1-0, kerumunan fans tandang malah bersorak “Antonio, Antonio, Antonio!”
Bayangkan saja: bagaimana bisa Anda mengelu-elukan seorang mantan manajer yang pernah menyabotase musim klub kesayangan Anda, menuntut klub tersebut, dan kini bergabung dengan salah satu rival sekota klub Anda.
Tapi harus diakui, dahulu ia memang kerap bersikap hangat ketika berjumpa dengan fans di London, dan ia bahkan mencintai sepakbola Inggris setelah sempat kesulitan melafalkan bahasanya.
Entah apakah mereka berniat mengejek Conte dan tim barunya dengan seruan namanya. Tetapi jika tidak, memang mudah untuk menunjukkan rasa cinta kepada lawan ketika sedang menang.
Mungkin sebagian fans Chelsea sedang terkena sindrom Sotckholm, atau bisa jadi mereka memang menghargai passion, etos kerja, dan intensitas Conte.