DBasia.news – Serie A menjadi liga cukup banyak melahirkan drama sepak bola di atas rumput hijau, duel penuh intrik, pertarungan sengit antarklub, dan adu strategi pelatih.
Semua keindahan Serie A itu hadir di era 90-an. Seluruh pecinta sepak bola dibius dengan keberadaan bintang-bintang kelas dunia yang ada di dalamnya.
Bukan cuma di Italia dan Eropa saja, Indonesia juga termasuk salah satu negara dengan pecinta Serie A terbanyak di dunia. Tidak heran jika di Indonesia ada basis fans Sampdoria, Lazio, hingga Parma.
Padahal, dahulu kala Parma merupakan klub idola bagi penggemarnya kala diperkuat pemain seperti: Fabio Cannavaro, Lilian Thuram, Gianluigi Buffon, Hernan Crespo, dan Juan Sebastian Veron.
Tapi yang berlalu biarlah berlalu. Serie A tidak akan pernah sama lagi seperti waktu itu. Namun, sekarang ini jadi waktu yang tepat untuk kembali menyaksikannya. Serie A tengah bangkit sejak kedatangan megabintang yang sudah meraih lima Ballon d’Or dan lima titel Liga Champions, Cristiano Ronaldo.
Kedatangannya bukan cuma menguntungkan Juventus di berbagai aspek, efek domino juga terjadi dengan semakin bertambah kompetitifnya Serie A. Persaingan di bawahnya tim-tim papan atas juga semakin bertambah seru. 19 tim lainnya seolah termotivasi untuk membuktikan bahwa Serie A bukan liga yang lemah.
Beberapa klub bersaing menjadi juara dengan Juventus, beberapa tim lainnya bertarung masuk zona Eropa, dan sisanya ingin terhindar dari zona degradasi.
Selayaknya Premier League dengan persaingan yang sulit diprediksi dari tim-tim semenjana yang dapat mengganggu tim top, Serie A juga demikian.
Hal tersebut membuktikan Serie A kembali kompetitif. Jarang-jarang publik melihat tim semenjana bersaing di papan atas Serie A yang didominasi oleh Juventus, Inter Milan, AC Milan, Napoli, dan AS Roma.
Sejauh ini, hanya ada sedikit klub semenjana yang mampu mengejutkan Serie A. Di antaranya adalah kelima tim berikut ini:
1. Chievo Verona (2001-02)
Berstatus tim promosi Serie A 2001-02, Chievo Verona sedianya diprediksi banyak orang bakal turun lagi ke Serie B. Tapi nyatanya, Si Keledai Terbang – julukan Chievo – malah terbang tinggi di Serie A dan sempat menduduki puncak klasemen selama enam pekan di bawah asuhan Luigi Delneri.
Kekuatan Chievo berpusat di kedua sayap. Dalam formasi 4-4-2, Eriberto dan Christian Manfredini selalu jadi momok bagi pertahanan lawan dengan kemampuan mereka melakukan penetrasi dan memberikan umpan silang. Massimo Marazzina juga memperlihatkan ketajamannya di lini depan melalui total 13 gol yang dicetaknya di Serie A.
Selain itu, skuat Delneri juga memiliki pemain-pemain berpengalaman seperti Nicola Legrottaglie, Eugenio Corini, Simone Perrotta, Fabio Fimani, dan Bernardo Corradi. Mereka bertahan lama di papan atas klasemen dan pada akhir musim, Chievo finish di urutan lima klasemen yang berhadiah tiket Piala UEFA (kini bernama Liga Europa).
Saking heroik dan hebatnya perjalanan Chievo di musim 2001-02, Marco Vitale terinspirasi dan membuat buku sepak bola ekonomis berjudul “Fenomeno Chievo. Economia, costume, societa”.
2. Sampdoria (1990-91)
Sepanjang berdirinya klub asal Genoa selama 72 tahun, Sampdoria hanya sekali memenangi Serie A, yakni pada musim 1990-91 – di era ketika Serie A tengah harum-harumnya. Roberto Mancini, Attilio Lombardo, Gianluca Pagliuca, Gianluca Vialli, dan Pietro Vierchowod, menjadi kunci sukses Sampdoria asuhan pelatih asal Serbia, Vujadin Boskov.
Vialli mencetak 19 gol di Serie A dan Mancini menjadi tandem sehatinya di lini depan. Sampdoria mengaplikasikan strategi serangan balik yang efektif dalam perjalanannya di musim 1990-91. Kokoh di lini belakang, Sampdoria tajam seperti pisau di lini depan.
Dalam tulisannya di Guardian, David Lacey (mantan koresponden Guardian) menggambarkan tim Sampdoria sebagai tim yang terjaga (dari sisi pertahanan) dan diam-diam (tanpa disadari, Sampdoria bisa mencetak gol dengan cepat).
Sementara kritikus seni asal Belanda, Rudi Fuchs, menggambarkan Sampdoria sebagai perwakilan sepak bola Italia secara menyeluruh. “Orang Italia menyambut dan menarik Anda, menggoda Anda dengan pendekatan halus mereka, lalu menceak gol setajam ujung pisau.”
Sampdoria hanya menelan tiga kekalahan, kebobolan 24 gol – terbaik kedua setelah Milan, dan mencetak total 57 gol – terbanyak di antara 17 klub lainnya.
3. Udinese (2012-13)
Sedari dulu sampai saat ini, klub dengan corak warna yang sama dengan Juventus dan AC Siena ini dikenal sebagai klub yang kerap mengorbitkan pemain muda, antah berantah, menjadi pemain top Eropa. Arturo Vidal dan Mauricio Isla jadi produk terkenal dari penggemblengan pemain yang dilakukan oleh Francesco Guidolin.
Pada musim 2012-13, Udinese pernah meramaikan persaingan di papan atas Serie A dan mengakhiri musim di peringkat lima klasemen yang berbuah tiket Kualifikasi Putaran Ketiga Liga Europa.
Udinese memiliki kolektivitas bermain dalam skuat yang berisikan: Antonio Di Natale, Medhi Benatia, Luis Muriel, Roberto Pereyra, Piotr Zielinski, Allan, dan Giampiero Pinzi. Di Natale jadi pemain paling menonjol dengan torehan 23 gol, terpaut enam gol dari top skor Serie A yang bermain di Napoli, Edinson Cavani.
4. Cagliari (1969-70)
Sejarah yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Klub kecil dari Kepulauan Sardinia yang dibentuk pada tahun 1920 pernah merajai Serie A dengan catatan kebobolan 11 gol, memasukkan 42 gol, dan kalah dua kali sepanjang musim 1969-70, kala liga masih berisikan 16 klub.
Kisah cinderella Cagliari dibangun dengan kesabaran dari masa Kepresidenan Enrico Rocca, yang mengangkat Cagliari dari Serie C, hingga era Efisio Corrias yang menyempurnakan pondasi dari Rocca. Pada era kepelatihan Manlio Scopigno, Cagliari menjadi satu tim yang solid dan utuh.
Luigi “Gigi” Riva, Nene, Pierluigi Cera, Enrico Albertosi, Mario Martiradonna, Giulio Zignoli, merupakan beberapa pahlawan Scudetto Cagliari yang namanya tidak akan lekang oleh waktu dalam sejarah klub dan juga Serie A. Scopigno meracik skuat dengan cerdas.
Cera yang notabene gelandang bertahan, dijadikannya bek tengah, hingga ia memiliki visi untuk membangun serangan dari belakang.
Bersama dengan Albertosi, Martiradonna, dan Zignoli, Cera membentuk benteng tangguh di lini belakang. Di tengah dan sisi sayap, Nene dan Angelo Domenghini selalu jadi ancaman dengan kecepatan serta kemampuan mereka mengolah bola.
Maestro lini tengah, Ricciotti Greatti, selalu menciptakan peluang berbahaya bagi pertahanan lawan dan memberikan suplai bola kepada sang predator, Riva. Sepenggal kisah Cagliari di musim 1969-70 akan selalu menjadi cerita indah yang turun temurun diceritakan warga Sardinia dari satu generasi ke generasi berikutnya.
5. Atalanta (2016-17)
La Dea (The Goddess) tidak terbentuk sebagai tim petarung trofi. Buktinya, selama 110 tahun berdirinya klub, Atalanta hanya pernah sekali menjadi juara Coppa Italia 1962-63, sisanya hanya menjuarai Serie B selama enam kali. Tak ayal pencapaian mereka di musim 2016-17 disebut sebagai pencapaian tersukses Atalanta di Serie A.
Kala itu, di bawah asuhan pelatih yang senang memainkan taktik tiga bek, Gian Piero Gasperini, Atalanta finisih di urutan empat klasemen dan berhak mendapat tiket langsung ke fase grup Liga Europa. Di musim sebelumnya Atalanta hanya finish di peringkat 13 klasemen.
Alejandro Gomez jadi pemain tertajam dalam skuat Atalanta dengan torehan 16 gol di Serie A. Gasperini juga mampu memaksimalkan potensi pemain dalam skuat yang dimiliki Mattia Caldara, Roberto Gagliardini, Andrea Conti, Bryan Cristante, Franck Kessie, Jasmin Kurtic, dan Andrea Petagna.
Racikan Gasperini tersebut menjadikan Atalanta sebagai tim tertajam keempat di Serie A di bawah Napoli (94 gol), AS Roma (90 gol), dan Juventus (77 gol), yang menjadi juara di akhir musim.
Peningkatan dalam grafik bermain Atalanta terus berlanjut sampai saat ini. Mereka lolos Kualifikasi Liga Champions dalam sejarah klub pada musim 2019-20 setelah finis di tiga besar Serie A 2018-19.